Rabu, 21 Maret 2012

Sa'o Pu'u 'Rumah Adat' sebagai Pusat Kebudayaan Lokal

Sesuai dengan nama yang disandang yakni rumah adat atau dalam bahasa Lio-Ende diwadahkan dalam istilah- istilah: Sa'o Pu'u, Sa'o Ria, Sa'o Ria Tenda Bewa, memang merupakan pusat kebudayaan, dalam konteks ini jelaslah kebudayaan lokal Lio-Ende. Memang benar bahwa sebagian besar ritual dalam lingkaran hidup perladangan berlokasi juga di luar rumah adat, bahkan juga di luar kampung. Ritual wra barajawa (atejawa, 'mencabik kulit jagung muda'), bagi komunitas Golulada, Detusoko misalnya, juga dilaksanakan di salah satu lokasi di kampung. Demikian pula sejumlah ritual lainnya dalam lingkaran kegiatan perladangan komunitas peladang Lio-Ende terjadi atau terlaksana di luar Sa'o Pu'u.
Akan tetapi, semua ritual baik ritual dalam lingkaran kehidupan manusia maupun dalam lingkaran kehidupan perladangan tradisional selalu berpusat pada rumah adat, berawal dari Sa'o Pu.'u, dari Sa'oria
Tendabewa. Konsep sa'o pu'u saja sudah mengandung makna konotasi bahwa segala rencana, kesepakatan, putusan, rancangan, bahkan gagasan baru saja pun selalu berawal dari sa'o pu'u. Sebab, sebagaimana tradisi terwariskan, untuk menentukan waktu, nelu, pelaksanaan ritual apa pun seperti: ngeti uma, peso uta, mbama, mi are, jokaju, kapena, ru'e kibi, secara prosedural keadatan justru harus diadakan di sa'o pu'u, diprakarsai oleh mosalaki pu'u sebagai pemimpin dan tetua adat inti, juga sebagai sulung dalam keluarga atau klen itu. la memulai dengan mengundang mosalaki, tukesani, dan aparat adat lainnya yang terkait dengan jenis ritual itu. Di sa'o pu'u pula mereka bermusyawarah, berembug, memutuskan, dan mengumumkannya kepada khalayak. Untuk musyawarah besar, kompleks sa'o pu'u, dalam hal ini keda digunakan untuk persidangan tersebut.
Sa'o pu'u adalah juga pusat kebudayaan pula berkaitan dengan sejumlah aktivitas dan aktualitas nilai-nilai budaya. Seperti telah disinggung di atas, kegiatan nelu yakni musyawarah dan mufakat untuk menentukan waktu ritual, atau juga so bhoka au, yang tentunya berlaku
Untuk seluruh peladang dan kerabat dalam wilayah tanah persekutuan tertentu dilakukan di kompleks sa’o pu’u. pertemuan atau rapat adat resmi itu dipimpin oleh mosalaki pu’u, atau ria bewa, atau oleh sejumlah penguasa inti dalam struktur lembaga mosalaki. Biasanya, mosalaki pu’u memohon izin atau meanosi terlebih dahulu kepada leluhur mereka seraya mempersembahkan rokok asli (mbako wolo) dalam jumlah tertentu, juga arak asli dengan wadah asli pula, atau juga makanan bagi leluhur mereka. Permohonan itu dituturkan dengan bahasa waga, ungkapan paralelisme sesuai dengan tujuan ritual dan dilakukan di sudut kanan rumah adat dan di depan Du’a Bapu.
               Dalam situasi dan hal yang berbeda, di sa’o pu’u pula warga pisah kekerabatan, baik dari keturunan laki-laki maupun keturunan perempuan (ana embu) berkomunikasi dan memohon doa restu leluhur, bahkan juga berkomunikasi dengan kekuatan dan kekuasaan adikodrati (supernatural), yang masyarakat Lio-Ende menyapanya sebagai Du’a gheta lulu wula, Nggae ghale wena tana. Menjelang perang untuk mempertahankan harta warisan atau menyelesaikan sengketa apapun, dengan kerabat atau pihak luar, memohon restu di sa’o pu’u merupakan adat dan tradisi.
Sa’o pu’u ataupun sa’oria tenda bewa pula yang menjadi pengayom dan pelindung, tidak saja dalam konteks bencana secara fisik maupun secara nonfisik. Bagi Orang Lio-Ende, sa’o pu’u adalah simbol yang menyatukan mereka, wadah yang mendekatkan mereka, lokasi yang memulihkan kembali kohesivitas mereka dari kekuatan pemecah belah. Sa'o pu'u adalah wadah yang mendamaikan kembali kekerabatan berkenaan dengan konflik internal, baik harta warisan maupun lahan garapan karena dalam suasana kekeluargaan saat berkumpul, terlebih dalam suasana ritual dan sakral, tuturan dan batuna'u, doa mereka dengan energi ragam bahasa waga berpola paralelisme semantik  dihadirkan dan diandalkan. Di sana pula jatidiri mereka dibangun dan dipulihkan sesuai dengan amanat leluhur mereka. Keharmonisan hubungan internal dipulihkan dari silang sengketa dan konflik. Di sa'o pu'u pula kesadaran asal muasal (genetic awarrenes) atau mbe'o pu'u kamu disegarkan kembali. Di sa'o pu'u pula mereka memohon kekuatan dalam menghadapi aneka sengketa eksternal dengan pihak lain berkaitan dengan tanah warisan.Betapa penting, strategis, dan sentralnya sa'o pu'u atau juga sa'oria tendabewa, bagi masyarakat Lio-Ende. Keberadaannya menjadi pusat orientasi tidak saja demi kehidupan yang ragawi dan sosial, misalnya sehubungan dengan penegakan keadilan internal soal warisan lahan garapan dan harta lainnya. Sa'o pu'u sebagai pusat kebudayaan adalah juga orientasi hidup yang rohaniah karena seperti yang diuraikan di atas, di sana pula mereka mengalunkan dan bertutur tentang amanat-amanat leluhur mereka yang harus mereka pedomani dan patuhi dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun kelompok. Lebih daripada itu, justru di sa'o pu'u pula mereka menjalin dan merakit kembali keserasian relasi yang transcendental dengan  dengan Sang Khalik, dengan Du'a Ngga'e, Du'a eo gheta lulu wula, Ngga'e eo ghale wena tana, dan hubungan itu ditandai secara ragawi  dengan hadirnya wulaleja di sudut kanan depan rumah hingga ke atap. Itu pula landasan filosofis sehingga banyak sa'o pu'u menjadi keramat,  magis, dan sakral, bhisagia. Sa'o pu'u adalah lambang dan sarana  pemersatu, lambang kekuatan rohani, kebanggaan jiwa kekerabatan, penanda keberadaan klen tertentu yang disebut Tuka kunu, Wewa, Kunu Woe, (mirip dengan wa'u, di Ngada, dan woe dalam rnasyarakat etnik Manggarai dengan mbaru gendang sebagai pusat orientasi mereka). Sebagai pemulih dan penyatu (kembali) keluarga besar, karena pemulihan   dan   perbaikan   (rehabilitasi),   pemugaran,   apalagi pembangunan kembali secara utuh sa'opu'u, justru disyaratkan melalui musyawarah internal garis pria dan sulung, untuk disepakati, dan kemudian ditetapkan bersama-sama oleh semua anggota kerabat. Kemudian, dalam pelaksanaannya pun sangat diprasyaratkan adanya  kebersamaan, kesatuan, dan kekompakan. Itulah secara singkat fungsi dan makna sosial-kultural sa'o pu'u, sa'oria tendabewa.Penting dan sentralnya kedudukan dan keberadaan sa'o pu'u, memang disadari oleh semua orang. Akan tetapi, betapa terancamnya keutuhan hidup suatu klen atau keluarga besar (kunu woe), jikalau secara ragawi dan nyata keluarga besar atau suatu klen itu tidak lagi memiliki sa'o pu'u karena rusak, tidak terurus, dan tidak terpelihara. Kerusakan atau kepunahan sa'o pu'u adalah pratanda kerusakan kekohesivan (desintegrasi), kesatuan, kebersamaan, relasi kekerabatan, baik dalam dimensi horizontal dengan aji-ana, faiwai walu ana kalo, maupun dimensi vertikal dengan leluhur dan Du'a Ngga'e. Gejala dan sumber konflik intrakekerabatan, bahkan juga dengan pihak luar, secara kultural bagi Orang Lio-Ende, senantiasa dikaitkan dengan keutuhan, keberadaan, dan fungsi sa'o pu'u, sa'oria tendabewa.

FILOSOFI RUMAH ADAT SA'O RIA
Berdasarkan struktur dan pola perkampungannya Sao Ria memiliki 3 kategori kampung yaitu : Kampung asal (nua pu’u), kampung ranting (kuwu ria) dan kampung kecil (kopo kasa). Kuwu Ria dan Kopo Kasa wajib mengakui wewenang religi, magis dan ritual dari penguasa adat di kampung
Rumah adat Sao Ria mempunyai filosofi khusus dimana rumah adat tersebut disimbolkan sebagai seorang manusia perempuan dan diartikan juga sebagai kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Makna ini di wujudkan melalui tata letak, fungsi dan bentuk ukuran komponen bangunan. Hal ini dapat dilihat dari letak Kanga yang berada diposisi yang lebih tinggi karena merupakan tempat yang disakralkan.
Fungsi Utama Bangunan
Fungsi utama Sao Ria terbagi menjadi 2 yaitu sebagai tempat hunian dan pemujaan, dimana di tempat hunian ini terdapat kamar-kamar untuk para penghuni.
Secara fungsional inti ruang tersebut memiliki fungsi ganda, yakni sebagai ruang yang bersifat tempat tinggal dan sekaligus bersifat sakral. Dikatakan bersifat tempat tinggal karena dalam kesehariannya pada ruangan ini digunakan untuk melaksanakan aktivitas penghuni rumah, seperti istirahat, makan bersama, menerima tamu, bekerja, bersantai dan lain sebagainya. Sedangkan disebut sakral karena pada ruangan ini juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (upacara adat) yang bersifat sakral. Di sekeliling ruang tengah ini terdapat ruang-ruang yang bersifat pribadi berupa ruang tidur dan sebagai ruang service (tempat penyimpanan perabot makan/dapur) dan lain sebagainya.
Kebutuhan umum pada ruangan rumah adat Sao Ria terdiri dari 2 kebutuhan, yaitu:
Ruang kegiatan penghuni itu sendiri.
Dimana pada ruangan-ruangan tersebut memiliki fungsi sosial
· Antara ketua adat dan keluarga (Makan, memasak, tidur).
· Antara ketua adat dan masyarakat setempat (Berkumpul/bermusyawarah).
Ruang Spiritual
Dimana ruang ini berfungsi sebagai ruang spiritual. Pada ruang ini diadakan upacara ritual pemujaan yang mengartikan bahwa kebutuhan ruang yang ada di Sao Ria bukan hanya untuk manusia itu sendiri melainkan sebagai tempat tinggal roh nenek moyang dan tempat bertemu manusia dengan sang penciptanya (wujud ilahi) yang merupakan sumber dan tujuan akhir serta penyelenggara kehidupan alam semesta.

Hubungan Antar Ruang

Secara horisontal pola hubungan antar ruang pada Sao Ria ini berintikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang bersama. Dimana ruang tengah ini menjadi inti Sao Ria, yang dijadikan sebagai tempat untuk berkumpul dan bermusyawarah yang dipimpin oleh ketua adat. Selain itu, ruang tengah ini juga menghubungkan semua ruangan yang ada di sekitarnya. Ruang tengah ini bukan hanya sekedar pemersatu anggota keluarga, melainkan juga pemersatu warga setempat.Sebelum memasuki Sao Ria terdapat Magha Loo ( tenda kecil ), setelah melewati Magha Loo terdapat Tangi Djawa (tangga naik ke rumah), lalu Magha Ria (bale-bale besar) di tengahnya terdapat Lata, yakni tangga masuk ke Pane Ria (pintu besar). Di samping Pane Ria terdapat Bendi (senapan) sebagai symbol pengaman Sao Ria. Dari Pane Ria memasuki Loro / lorong menuju One atau ruang tengah. Di samping kiri dan kanan terdapat dua kamar Magha Ria / kamar depan, yang berfungsi sebagai tempat tidur pemuda dan tamu laki-laki.Setelah Magha Ria terdapat Waja (tempat perapian). Di sudut kiri belakang terdapat Noki yaitu gudang kayu api. Ditengah-tengah Sao Ria terdapat One (ruang utama). Dibalik dinding kanan One terdapat kamar,dinamakan Rimba atau kamar untuk kamar gadis, kamar belakang dinamakan Magha Longgo yaitu kamar Ata Laki Puu dengan istri-istrinya. Disudut kanan belakang terdapat ruang suci yang dinamakan Wisu Lulu, tempat barang-barang pusaka antara lain batu-batu perjanjian antara nenek moyang dengan suku lain.

Lahirnya Kembali Arsitektur Nusantara

Waerebo
Desa Waerebo yang terletak di Kecamatan Satar Mese Barat,Kabupaten Manggarai,Flores,Nusa Tenggara Timur,telah lama terkenal di dunia. Ketenaran tersebut bukan semata-mata karena letak Desa Waerebo yang indah,tetapi juga karena mempunyai rumah yang bentuk dan fungsinya unik.Rumah-rumah di Waerebo berbentuk kerucut,tanpa jendela sama sekali dan jumlahnya hanya empat,jadilah kisah yang membuat Waerebo menjadi terkenal di negeri sendiri. Judul tulisan ini merupakan cukilan tulisan yang dibuat professor Josef Prijotomo,Guru Besar Arsitektur Institut Teknologi Surabaya,tentang Waerebo yang dimuat dalam buku Pesan Dari Waerebo (editor Yori Antar). Dalam tulisan tersebut prof.Josef  menekankan bahwapembanguanan kembali tiga rumah tradisional di Waerebo telah mengangkat beberapa kearifan arsitektur tradisional Indonesia,antara lain teknologi ikat pada sambungan struktur bangunan.
Selain itu,Prof.Josef  juga melihat bahwa pembangunan kembali tiga rumah tradisional di waerebo akan berdampak pada pemahaman ulang segenap pengetahuan arsitektur tradisional beserta tatanan dan gubah rupa yang
menyertainya. Menurut Prof.Josef ,teknologi ikat jauh lebih tua  usianya dibandingkan dengan teknologi paku yang juga tradisional.Ketidakrigidan teknologi ikat membuat sebuah bangunan menjadi fleksibel dan adaptif terhadap guncangan yang diakibatkan gempa bumi.

Rumah Kerucut
Leluhur Wae Rebo, termasuk Empo Maro, mewariskan 7 buah rumah kerucut yang sangat menawan meskipun telah dimakan usia dan beberapa di antaranya telah rubuh dan belum dibina kembali. Sebuah yayasan dari Jakarta diberitakan telah memberikan bantuan pertanda kasih sayangnya pada keaslian Wae Rebo dengan mendirikan satu rumah yang sama bentuknya dan dinamakan Tirto Gena Ndorom, dimana Tirto adalah secuil kata dari nama yayasan donatur tadi.
Rumah yang disebut mbaru niang terdiri dari 5 tingkat yang semua ditutupi atap dan menjadi sebuah kerucut. Di tingkat pertama, lutur, atau tenda adalah tempat tinggal penghuninya. Di tingkat kedua, lobo, atau loteng ialah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Tingkat ketiga ialah lentar yang berfungsi menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam lainnya. Tingkat keempat ialah lempa rae, yaitu tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang akan sangat berguna saat panen dirasa kurang berhasil. Sedangkan tingkat kelima, hekang kode, yaitu tempat menyimpan sesajian untuk para leluhur.
Di Wae Rebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang memiliki berbagai klan. Di sini hanya terdapat satu klan atau marga saja. Klan tersebut memiliki gendang pusaka di rumah gendang di tiang utamanya. Mereka memiliki pantangan untuk tidak makan satu binatang, yaitu musang. Dari penuturan tetua, leluhur mereka datang ke Wae Rebo dengan bertemankan seekor musang sehingga dipercayai bahwa musang adalah bagian dari leluhur mereka. 
Jumlah rumah adat yang hanya tujuh selalu diusahakan untuk dipertahankan warga Waerebo sampai kapanpun. Untuk bertambah,jelas tidak akan dilakukan warga Waerebo karena memang tujuh adalah angka final. Namun jumlah itu menjadi berkurang akhirnya merupakan hal yang tidak bisa dihindari akibat kelapukan dan ketidakmampuan warga memperbaiki karena berbagai alasan. Rumah adat di Waerebo dalam bahasa lokal adalah mboru niang,terbauat dari rangka kayu diikat rotan kemudian dibungkus ijuk dan ilalang. Keawetan rumah terjadi akibat asap yang terus menerus mengeringkan dan mengasapinya dari dalam.Penduduk Waerebo memasak dengan tungku kayu tepat ditengah rumah itu.Dengan bentuknya yang seperti  kerucut,mboru niang memang hanya bisa dihuni manusia di bagian bawahnya.Selanjutnya di bagian rumah yang mengecil ke atas itu, terdapat beberapa balkon untuk sejumlah keperluan penyimpanan seperti makanan dan perlengkapan lain.
“Dari empat tersisa saat kami pertama kali ke sana pun,dua diantaranya sudah  reot dan bocor dimana-mana,” papar Yori Antar,Arsitek yang bersama rombongannya tiba di Waerebo pada Agustus 2008.Menyayangkan kalau Waerebo akhirnya punah,Yori kemudian dengan berbagai upaya berusaha mencari donatur agar jumlah rumah tradisional di Waerebo kembali lagi menjadi tujuh unit.Berbagai acara dan pameran digelar di Jakarta. Upaya Yori pun membuahkan hasil. Pada langkah awal,Tirto utomo Foundation bersedia membiayai perbaikan dua dari empat rumah tersisa.Dana sudah siap,tetapi kendala terbesar langsung menghadang,tak banyak informasi yang dimiliki tentang konstruksi rumah tradisional Waerebo itu.
“Akhirnya kami mempelajari konstruksi rumah tradisional Waerebo dengan cara membongkarnya lalu mempelajari dan mencatatnya.Kami perhatikan ukuran-ukurannya,kami perhatikan tipe-tipe ikatannya,dan kami cermati tipe-tipe pertemuan antar bloknya. Jadi perbaikan dua rumah di waerebo adalah awal pembangunan tiga lagi yang sudah punah,” kata Yori. Pameran yang diadakan tentang Waerebo pertengahan 2010 di Jakarta juga membuahkan hasil yang menggembirakan. Pengusaha Arifin Panigoro dan Laksamana Sukardi masing-masing bersedia mendanai sebuah rumah. Satu rumah lagi kembali didanai oleh Tirto Utomo Foundation. Biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah rumah adat di Waerebo adalah Rp.250 juta.

Izin Penebangan
Meskipun uang telah tersedia,hambatan terbesar justru kemudian muncul di depan mata. Izin penebangan pohon sulit didapatkan.Rumah adat mboru niang ini membutuhkan pohon yang ukurannya sangat besar. Izin untuk menebang pohon tidak kunjung didapatkan karena Waerebo terletak di kawasan konservasi hutan. “ Bahkan,pernah ada usulan agar Waerebo pindah saja dari kawasan hutan lindung itu.Ini aneh sebab waerebo sudah disana jauh sebelum segala peraturan kehutanan ada dan dibuat,” kata Yori mengisahkan.Akhirnya dengan berbagai lobi dan juga penegasan bahwa masyarakat Waerebo menebang pohon hanya untuk membangun rumah adat,izin penebangan didapatkan.Selanjutnya kisah pembangunan tiga rumah tersisa juga menjadi sejarah manis bagi dunia arsitektur Indonesia.
Maka pada awal Juni 2011,Waerebo dengan resmi kembali seperti keadaan saat didirikan pendirinya,yaitu memiliki tujuh rumah adat.Berbagai acar adat
digelar.Beberapa media cetak diajak Yori untuk menyaksikan langsung sebuah kebangkitan desa adat di Indonesia yang memang harus dijaga kelestariannya. Mengingat masyarakat Waerebo menganut agama Katolik,perayaan misa besar diadakan sebagai ungkapan syukur.Misa itu pun dipimpin dua pastor sekaligus. Sebagai tanda terima kasih,rumah-rumah yang baru dibangun dan diperbaiki itu dinamai sesuai nama donaturnya. Dua rumah yang direnovasi dinamakan Tirta Gena Ndorom  (2009) dan Tirta Gena Jekong (2010). Tiga lagi yang dibangun awal 2011 dinamai Tirta Gena Maro, Laksamana Gena Jintan  serta Panigoro Gena Mandok.

“ Kami membutuhkan uluran dana dermawan lagi. Ada beberapa rumah tradisional di Tanah Karo (Sumatera Utara) dan di Pulau Sumba,Nusa Tenggara Timur yang harus diperbaiki atau dibangun kembali agar tidak punah,” kata Yori yang membentuk lembaga bernama Rumah Asuh untuk kelestarian berbagai rumah adat di Indonesia ini. Waerebo memang sudah menjadi tonggak pada banyak hal. Di satu sisi kita disadarkan,Indonesi memiliki sebuah tempat yang begitu dipuja orang dari berbagai negara tetapi keadaannya sempat terbengkalai. Waerebo juga menjadi bukti bahwa nasionalisme masih ada pada diri pengusaha-pengusaha Indonesia. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya dalam jumlah besar demi kelestarian warisan budaya yang tak ada duanya. Bagaimanpun,Waerebo memang fenomena kita saat ini.

Arsitektur Rumah Adat Wajo - Nagakeo - Flores

Kampung Adat Wajo berada di Desa Wajo, Kecamatan Keo-Tengah, Kabupaten Nagekeo. Kabupaten ini secara geografis terletak diantara 80 26’ 00’’-80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’ 20”-1210 32’ 00” Bujur Timur. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian Selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Ende, sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.
Karakteristik Arsitektur Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), Bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.
Pola Perkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunana disekitarnya.
Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di
laut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.

Hal ikhwal dalam Pola Perkampungan adat Wajo ini terdapat ketentuan-ketentuan khusus, misalnya arah jalan masuk, baik dalam keseharian maupun ritual adat, yakni harus melalui tangi Kodi, sebagai pintu masuk semua rangkaian kegiatan adat dengan ketentuan bila naik ke Sa’o Pile (Rumah Pemali), harus melepas alas kaki (sandal) dan mengenakan sarung adat.
Arah masuk kampung adat, dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat  Range
-tidak boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); (jarak) rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).

Bangunan Arsitektur Wajo
Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter orang Wajo.
Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius.
Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan disebut mempunyai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh Masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali, bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).

SA’O PILE (RUMAH PEMALI)
Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula.
Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan.
Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”).
Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).
Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula, yang mana dikerjakan oleh semua warga kampung.


1) Cara Mendirikan Sa’o Pile (rumah Pemali)
Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile, berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku), dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :

Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat; 
Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya member makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);
Untuk mengumpulkan elemen-elemen (bahan-bahan) bangunan juga harus melalui ritual adat yakni “Raba taka” artinya mengasah parang pada waktu memotong tiang dan lain-lain terlebih dahulu didarahi dengan darah kerbau;
“Woti geri” artinya mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan pada setiap elemen konstruksi.Pada saat membangun Sa’o Pile, elemen-elemen konstruksi langsung ditempatkan pada posisinya secara bertahap (tidak dirangkaikan terlebih dahulu), yakni :

a. Mendirikan tiang utama (Deke).
Tiang utama tersebut berjumlah 6, yakni didirikan sesuai lingkaran suku dari kanan ke kiri, melambangkan suku-suku yang ada ;Emb lau;
Embumbani
Koto bhisu mena;
Koto bhisu Rade;
Jemu dhedhe wawo;
Jemu dhedhe wena. Tiang utama (Deke), harus menggunakan kayu khusus yaitu “kaju embu” yang diambil dari kebun pribadi Masyarakat Wajo, yakni di Nio budha, Ae toe, natu dan Baomau, penuh ukiran dengan system konstruksi ditanam dalam tanah, beralaskan batu ceper (Watu) dan dibalut oleh tali Ijo (ijuk) system Umpak batu.

b. Tiang utama menopang “Tenga” (sloff bawah) yaitu balok berbentuk kuda “Kaju mali kuda”, diambil dari ,undemi (Kebun) dengan system konstruksi “Monge”.
c. Karena merupakan rumah panggung, Sa’o Pile terdiri dari beberapa tangga yang harus ditapaki (dilewati bertahap), yakni :Ngi kajo, yaitu tangga pertama, berupa balok panjang
Kana wari, disebut sebagai jembatan ke rumah adat, yang dibantu dengan seutas tali ijo (konon menggunakan ekor kerbau), terbuat dari Kaju Oja yang diambil di “lewa”. Kana wari ini dilengkapi dengan ornament berupa patung yang diyakini sebagai penjaga pintu masuk Rumah Pemali (“Ana Jeo”) yakni ; 
Daki Weke (sebelah kiri);
Nenbo Neke (sebelah kanan)Konon dua patung ini adalah Ana jeo, yaitu 2 orang anak yang menjaga seluruh kampung adat Wajo;
d. Kodi Panda
Yakni balok lantai pembatas pintu masuk (Wesa) dengan Kana wari. Bagi Masyarakat wajo, aturan atau pantangan memasuki rumah pemali adalah tidak boleh terantuk (tersandung) pada balok Kodi panda. Hal ini menandakan tidak diperkenankan untuk masuk ke Sa’o Pile (Pemali).
e. Wisu (kaju mbaa tolo)
Yakni kayu merah ½ dinding sebagai bagian konstruksi kolom-kolom pembentuk dindiding, diambil di Koi (Kebun).
f. Lantai “kembi”, terbuat dari belahan bambu dengan menggunakan konstruksi ikat silam dengan tali “Nao” (fii bheto) pada fii kodi ( balok lantai) atau Dado Kodi.
g. Rumah Sa’o Pile berbentuk limas, sehingga jenis atapnya menggunakan jurai dengan konstruksi diikat oleh tali ijo (tali ijuk), yakni :Soku dok, yakni balok Jurai;
Mangu atau mbaa tolo yakni tiang nok, dari kayu merah;
Kada peda, yakni ½ kuda-kuda; 
Soku papa, yakni gording dari bambu;
Pama lindi, yakni papan list plank penuh ukiran;
Alang-alang dan ijuk pada jurai, dikumpulkan dari masing-masing suku. Konstruksi alang-alang ini diapit oleh bambu dengan ukuran 1 meter dan diikat pada reng bambu dengan jarak 0,5 meter. h. Loteng atau Kodi Panda
Kodi panda yakni ruang pada lantai 2 yang difungsikan sebagai tempat memanggil atau mengumpulkan semua warga kampung untuk mempersiapkan peralatan perang jika ada peperangan. Biasanya cara mengumpulkan semua warga kampung Wajo diiringi dengan musik gong, gendang, suling dan juga syair-syair lagu.

2) Upacara Adat dalam mendirikan Sa’o Pile (Rumah pemali)
Tujuan mengadakan upacara atau ritual adat dalam membangun rumah pemali, diyakini oleh masyarakat adat Wajo “sebagai wujud permintaan kepada leluhur untuk melindungi anak cucunya dari seluruh anggota suku agar sehat dan berhasil dalam membangun (Mbinge woso kupa) mengembangkan keturunan agar generasi-generasi berkembanga pesat”.Mutu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk (berdialog) untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
Tika, yakni member sasajen (makan) kepada leluhur (“ndewa rekta nee ngae rade”);
Raba taka, yakni upacara mengasah parang pada waktu memotong tiang dan bahan lainnya yang terlebih dahulu didarahi oleh darah kerbau;
Woti geri, yakni upacara mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan Wajo;
Lombo lindi, yakni memotong alang-alang agar rapih (finishing);
Pije puu, meletakkan tanah di sekitar tiang dan peo agar kuat yang didarahi dengan darah kerbau.Dalam ritual adat hewan yang menjadi kurban pokok yaitu babi, digunakan untuk mendarahi kayu-kayu atau alang-alang selama masih di hutan atau kebun, dan kerbau, digunakan untuk mendarahi bahan-bahan bangunan disuatu tempat untuk siap dibangun (izin pada penunggu pohon).
Selain itu tarian yang digunakan selama upacara adat yaitu tarian Pute wutu oleh ana susu. Menurut masyarakat Wajo rumah sa’o pile dibangun berdasarkan syair-syair lagu “Ndada ta”.

3) Denah dan Pola Ruang
Denah dan pola ruang dalam tatanan arsitektur Tradisional (Vernakular) Wajo memiliki pola pikir yang bersifat sakral dan selalu dapat ditinjau secara hierarkis, yaitu horizontal dan vertikal.
Rumah pemali Sa’o Pile tergolong tipologi rumah panggung, terdiri dari dua lantai yang mana bertitikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang suci yang dikeramatkan.
Secara horizontal, pola ruang rumah pemali selalu dikaitkan dengan kehidupan profan, dengan tuntutan aktivitas seperti, makan bersama, memasak (Dika) dan bersosialisasi. Sedangkan secara vertikal selalu berhubungan dengan hal-hal kosmik dan sakral, karena pada ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (Upacara adat) yang bersifat sakral dan suci.
Disisi lain, secara adat istiadat Wajo terdapat pemisahan ruang yang memiliki sejumlah larangan, misalnya pembagian ruang masak (Wanita tidak boleh melewati pembatas antara ruang Dika/dapur dalam rumah pemali) yang dipisahkan oleh sebatang bambu dengan ukuran yang berbeda. Secara Vertikal arsitektur Wajo ini ditandai dengan adanya ruang upacara adat (ruang suci) yang dipisahkan oleh sebatang balok melintang. Dalam sumbu vertikal ini sangat jelas membedakan fungsi suatu ruang dari atas ke bawah atau dari yang keramat (pemali) sampai yang biasa, merupakan manifestasi dari dunia atas (dunia para dewa atau leluhur), dunia tengah (tempat manusia) dan dunia bawah (binatang dan roh jahat).
Tatanan pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) adat Wajo juga pada dasarnya memiliki konsep dan hierarki ruang yagn identik sama dengan pola atau hirarki pada tat ruang dalam rumah pemali. Inti dari ruang luar ini pada pola tapak “Pondo” adalah kehadiran bangunan megalitik, Pu’u Peo, Peo Aki dan juga pelataran terbuka dalam lingkup kosmik gagasan Masyarakat Wajo dari jaman leluhur terdahulu.

4) Ornamen dan Ragam Hias
Ornament dan Ragam Hias pada Arsitektur Tradisional (Vernakular) adat Wajo yang terdapat dalam Rumah pemali (Sa’o Pile) memiliki banyak makna, norma, serta larangan tertentu sesuai perletakan yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pula dari bangunan tersebut. Dari segi bentuk ragam hias ini sangat bervariasi, yakni berupa garis lurus, garis langkung (dengan komposisi tertentu), balah ketupat, flora (Kuntum bunga), fauna (binatang), manusia (sosok manusia, organ tertentu wanita, seperti payudara, dan patung), serta benda-benda langit (bulan, bintang, dan matahari). Ragam hias dengan komposisi garis-garis lengkung umumnya bersosok sesuatu benda yang menunjukkan keberadaan benda-benda pusaka atau benda berharga lainnya yang tersimpan di dalam Rumah pemali