Rabu, 21 Maret 2012

Lahirnya Kembali Arsitektur Nusantara

Waerebo
Desa Waerebo yang terletak di Kecamatan Satar Mese Barat,Kabupaten Manggarai,Flores,Nusa Tenggara Timur,telah lama terkenal di dunia. Ketenaran tersebut bukan semata-mata karena letak Desa Waerebo yang indah,tetapi juga karena mempunyai rumah yang bentuk dan fungsinya unik.Rumah-rumah di Waerebo berbentuk kerucut,tanpa jendela sama sekali dan jumlahnya hanya empat,jadilah kisah yang membuat Waerebo menjadi terkenal di negeri sendiri. Judul tulisan ini merupakan cukilan tulisan yang dibuat professor Josef Prijotomo,Guru Besar Arsitektur Institut Teknologi Surabaya,tentang Waerebo yang dimuat dalam buku Pesan Dari Waerebo (editor Yori Antar). Dalam tulisan tersebut prof.Josef  menekankan bahwapembanguanan kembali tiga rumah tradisional di Waerebo telah mengangkat beberapa kearifan arsitektur tradisional Indonesia,antara lain teknologi ikat pada sambungan struktur bangunan.
Selain itu,Prof.Josef  juga melihat bahwa pembangunan kembali tiga rumah tradisional di waerebo akan berdampak pada pemahaman ulang segenap pengetahuan arsitektur tradisional beserta tatanan dan gubah rupa yang
menyertainya. Menurut Prof.Josef ,teknologi ikat jauh lebih tua  usianya dibandingkan dengan teknologi paku yang juga tradisional.Ketidakrigidan teknologi ikat membuat sebuah bangunan menjadi fleksibel dan adaptif terhadap guncangan yang diakibatkan gempa bumi.

Rumah Kerucut
Leluhur Wae Rebo, termasuk Empo Maro, mewariskan 7 buah rumah kerucut yang sangat menawan meskipun telah dimakan usia dan beberapa di antaranya telah rubuh dan belum dibina kembali. Sebuah yayasan dari Jakarta diberitakan telah memberikan bantuan pertanda kasih sayangnya pada keaslian Wae Rebo dengan mendirikan satu rumah yang sama bentuknya dan dinamakan Tirto Gena Ndorom, dimana Tirto adalah secuil kata dari nama yayasan donatur tadi.
Rumah yang disebut mbaru niang terdiri dari 5 tingkat yang semua ditutupi atap dan menjadi sebuah kerucut. Di tingkat pertama, lutur, atau tenda adalah tempat tinggal penghuninya. Di tingkat kedua, lobo, atau loteng ialah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Tingkat ketiga ialah lentar yang berfungsi menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam lainnya. Tingkat keempat ialah lempa rae, yaitu tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang akan sangat berguna saat panen dirasa kurang berhasil. Sedangkan tingkat kelima, hekang kode, yaitu tempat menyimpan sesajian untuk para leluhur.
Di Wae Rebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang memiliki berbagai klan. Di sini hanya terdapat satu klan atau marga saja. Klan tersebut memiliki gendang pusaka di rumah gendang di tiang utamanya. Mereka memiliki pantangan untuk tidak makan satu binatang, yaitu musang. Dari penuturan tetua, leluhur mereka datang ke Wae Rebo dengan bertemankan seekor musang sehingga dipercayai bahwa musang adalah bagian dari leluhur mereka. 
Jumlah rumah adat yang hanya tujuh selalu diusahakan untuk dipertahankan warga Waerebo sampai kapanpun. Untuk bertambah,jelas tidak akan dilakukan warga Waerebo karena memang tujuh adalah angka final. Namun jumlah itu menjadi berkurang akhirnya merupakan hal yang tidak bisa dihindari akibat kelapukan dan ketidakmampuan warga memperbaiki karena berbagai alasan. Rumah adat di Waerebo dalam bahasa lokal adalah mboru niang,terbauat dari rangka kayu diikat rotan kemudian dibungkus ijuk dan ilalang. Keawetan rumah terjadi akibat asap yang terus menerus mengeringkan dan mengasapinya dari dalam.Penduduk Waerebo memasak dengan tungku kayu tepat ditengah rumah itu.Dengan bentuknya yang seperti  kerucut,mboru niang memang hanya bisa dihuni manusia di bagian bawahnya.Selanjutnya di bagian rumah yang mengecil ke atas itu, terdapat beberapa balkon untuk sejumlah keperluan penyimpanan seperti makanan dan perlengkapan lain.
“Dari empat tersisa saat kami pertama kali ke sana pun,dua diantaranya sudah  reot dan bocor dimana-mana,” papar Yori Antar,Arsitek yang bersama rombongannya tiba di Waerebo pada Agustus 2008.Menyayangkan kalau Waerebo akhirnya punah,Yori kemudian dengan berbagai upaya berusaha mencari donatur agar jumlah rumah tradisional di Waerebo kembali lagi menjadi tujuh unit.Berbagai acara dan pameran digelar di Jakarta. Upaya Yori pun membuahkan hasil. Pada langkah awal,Tirto utomo Foundation bersedia membiayai perbaikan dua dari empat rumah tersisa.Dana sudah siap,tetapi kendala terbesar langsung menghadang,tak banyak informasi yang dimiliki tentang konstruksi rumah tradisional Waerebo itu.
“Akhirnya kami mempelajari konstruksi rumah tradisional Waerebo dengan cara membongkarnya lalu mempelajari dan mencatatnya.Kami perhatikan ukuran-ukurannya,kami perhatikan tipe-tipe ikatannya,dan kami cermati tipe-tipe pertemuan antar bloknya. Jadi perbaikan dua rumah di waerebo adalah awal pembangunan tiga lagi yang sudah punah,” kata Yori. Pameran yang diadakan tentang Waerebo pertengahan 2010 di Jakarta juga membuahkan hasil yang menggembirakan. Pengusaha Arifin Panigoro dan Laksamana Sukardi masing-masing bersedia mendanai sebuah rumah. Satu rumah lagi kembali didanai oleh Tirto Utomo Foundation. Biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah rumah adat di Waerebo adalah Rp.250 juta.

Izin Penebangan
Meskipun uang telah tersedia,hambatan terbesar justru kemudian muncul di depan mata. Izin penebangan pohon sulit didapatkan.Rumah adat mboru niang ini membutuhkan pohon yang ukurannya sangat besar. Izin untuk menebang pohon tidak kunjung didapatkan karena Waerebo terletak di kawasan konservasi hutan. “ Bahkan,pernah ada usulan agar Waerebo pindah saja dari kawasan hutan lindung itu.Ini aneh sebab waerebo sudah disana jauh sebelum segala peraturan kehutanan ada dan dibuat,” kata Yori mengisahkan.Akhirnya dengan berbagai lobi dan juga penegasan bahwa masyarakat Waerebo menebang pohon hanya untuk membangun rumah adat,izin penebangan didapatkan.Selanjutnya kisah pembangunan tiga rumah tersisa juga menjadi sejarah manis bagi dunia arsitektur Indonesia.
Maka pada awal Juni 2011,Waerebo dengan resmi kembali seperti keadaan saat didirikan pendirinya,yaitu memiliki tujuh rumah adat.Berbagai acar adat
digelar.Beberapa media cetak diajak Yori untuk menyaksikan langsung sebuah kebangkitan desa adat di Indonesia yang memang harus dijaga kelestariannya. Mengingat masyarakat Waerebo menganut agama Katolik,perayaan misa besar diadakan sebagai ungkapan syukur.Misa itu pun dipimpin dua pastor sekaligus. Sebagai tanda terima kasih,rumah-rumah yang baru dibangun dan diperbaiki itu dinamai sesuai nama donaturnya. Dua rumah yang direnovasi dinamakan Tirta Gena Ndorom  (2009) dan Tirta Gena Jekong (2010). Tiga lagi yang dibangun awal 2011 dinamai Tirta Gena Maro, Laksamana Gena Jintan  serta Panigoro Gena Mandok.

“ Kami membutuhkan uluran dana dermawan lagi. Ada beberapa rumah tradisional di Tanah Karo (Sumatera Utara) dan di Pulau Sumba,Nusa Tenggara Timur yang harus diperbaiki atau dibangun kembali agar tidak punah,” kata Yori yang membentuk lembaga bernama Rumah Asuh untuk kelestarian berbagai rumah adat di Indonesia ini. Waerebo memang sudah menjadi tonggak pada banyak hal. Di satu sisi kita disadarkan,Indonesi memiliki sebuah tempat yang begitu dipuja orang dari berbagai negara tetapi keadaannya sempat terbengkalai. Waerebo juga menjadi bukti bahwa nasionalisme masih ada pada diri pengusaha-pengusaha Indonesia. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya dalam jumlah besar demi kelestarian warisan budaya yang tak ada duanya. Bagaimanpun,Waerebo memang fenomena kita saat ini.

1 komentar: