Rabu, 21 Maret 2012

Sa'o Pu'u 'Rumah Adat' sebagai Pusat Kebudayaan Lokal

Sesuai dengan nama yang disandang yakni rumah adat atau dalam bahasa Lio-Ende diwadahkan dalam istilah- istilah: Sa'o Pu'u, Sa'o Ria, Sa'o Ria Tenda Bewa, memang merupakan pusat kebudayaan, dalam konteks ini jelaslah kebudayaan lokal Lio-Ende. Memang benar bahwa sebagian besar ritual dalam lingkaran hidup perladangan berlokasi juga di luar rumah adat, bahkan juga di luar kampung. Ritual wra barajawa (atejawa, 'mencabik kulit jagung muda'), bagi komunitas Golulada, Detusoko misalnya, juga dilaksanakan di salah satu lokasi di kampung. Demikian pula sejumlah ritual lainnya dalam lingkaran kegiatan perladangan komunitas peladang Lio-Ende terjadi atau terlaksana di luar Sa'o Pu'u.
Akan tetapi, semua ritual baik ritual dalam lingkaran kehidupan manusia maupun dalam lingkaran kehidupan perladangan tradisional selalu berpusat pada rumah adat, berawal dari Sa'o Pu.'u, dari Sa'oria
Tendabewa. Konsep sa'o pu'u saja sudah mengandung makna konotasi bahwa segala rencana, kesepakatan, putusan, rancangan, bahkan gagasan baru saja pun selalu berawal dari sa'o pu'u. Sebab, sebagaimana tradisi terwariskan, untuk menentukan waktu, nelu, pelaksanaan ritual apa pun seperti: ngeti uma, peso uta, mbama, mi are, jokaju, kapena, ru'e kibi, secara prosedural keadatan justru harus diadakan di sa'o pu'u, diprakarsai oleh mosalaki pu'u sebagai pemimpin dan tetua adat inti, juga sebagai sulung dalam keluarga atau klen itu. la memulai dengan mengundang mosalaki, tukesani, dan aparat adat lainnya yang terkait dengan jenis ritual itu. Di sa'o pu'u pula mereka bermusyawarah, berembug, memutuskan, dan mengumumkannya kepada khalayak. Untuk musyawarah besar, kompleks sa'o pu'u, dalam hal ini keda digunakan untuk persidangan tersebut.
Sa'o pu'u adalah juga pusat kebudayaan pula berkaitan dengan sejumlah aktivitas dan aktualitas nilai-nilai budaya. Seperti telah disinggung di atas, kegiatan nelu yakni musyawarah dan mufakat untuk menentukan waktu ritual, atau juga so bhoka au, yang tentunya berlaku
Untuk seluruh peladang dan kerabat dalam wilayah tanah persekutuan tertentu dilakukan di kompleks sa’o pu’u. pertemuan atau rapat adat resmi itu dipimpin oleh mosalaki pu’u, atau ria bewa, atau oleh sejumlah penguasa inti dalam struktur lembaga mosalaki. Biasanya, mosalaki pu’u memohon izin atau meanosi terlebih dahulu kepada leluhur mereka seraya mempersembahkan rokok asli (mbako wolo) dalam jumlah tertentu, juga arak asli dengan wadah asli pula, atau juga makanan bagi leluhur mereka. Permohonan itu dituturkan dengan bahasa waga, ungkapan paralelisme sesuai dengan tujuan ritual dan dilakukan di sudut kanan rumah adat dan di depan Du’a Bapu.
               Dalam situasi dan hal yang berbeda, di sa’o pu’u pula warga pisah kekerabatan, baik dari keturunan laki-laki maupun keturunan perempuan (ana embu) berkomunikasi dan memohon doa restu leluhur, bahkan juga berkomunikasi dengan kekuatan dan kekuasaan adikodrati (supernatural), yang masyarakat Lio-Ende menyapanya sebagai Du’a gheta lulu wula, Nggae ghale wena tana. Menjelang perang untuk mempertahankan harta warisan atau menyelesaikan sengketa apapun, dengan kerabat atau pihak luar, memohon restu di sa’o pu’u merupakan adat dan tradisi.
Sa’o pu’u ataupun sa’oria tenda bewa pula yang menjadi pengayom dan pelindung, tidak saja dalam konteks bencana secara fisik maupun secara nonfisik. Bagi Orang Lio-Ende, sa’o pu’u adalah simbol yang menyatukan mereka, wadah yang mendekatkan mereka, lokasi yang memulihkan kembali kohesivitas mereka dari kekuatan pemecah belah. Sa'o pu'u adalah wadah yang mendamaikan kembali kekerabatan berkenaan dengan konflik internal, baik harta warisan maupun lahan garapan karena dalam suasana kekeluargaan saat berkumpul, terlebih dalam suasana ritual dan sakral, tuturan dan batuna'u, doa mereka dengan energi ragam bahasa waga berpola paralelisme semantik  dihadirkan dan diandalkan. Di sana pula jatidiri mereka dibangun dan dipulihkan sesuai dengan amanat leluhur mereka. Keharmonisan hubungan internal dipulihkan dari silang sengketa dan konflik. Di sa'o pu'u pula kesadaran asal muasal (genetic awarrenes) atau mbe'o pu'u kamu disegarkan kembali. Di sa'o pu'u pula mereka memohon kekuatan dalam menghadapi aneka sengketa eksternal dengan pihak lain berkaitan dengan tanah warisan.Betapa penting, strategis, dan sentralnya sa'o pu'u atau juga sa'oria tendabewa, bagi masyarakat Lio-Ende. Keberadaannya menjadi pusat orientasi tidak saja demi kehidupan yang ragawi dan sosial, misalnya sehubungan dengan penegakan keadilan internal soal warisan lahan garapan dan harta lainnya. Sa'o pu'u sebagai pusat kebudayaan adalah juga orientasi hidup yang rohaniah karena seperti yang diuraikan di atas, di sana pula mereka mengalunkan dan bertutur tentang amanat-amanat leluhur mereka yang harus mereka pedomani dan patuhi dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun kelompok. Lebih daripada itu, justru di sa'o pu'u pula mereka menjalin dan merakit kembali keserasian relasi yang transcendental dengan  dengan Sang Khalik, dengan Du'a Ngga'e, Du'a eo gheta lulu wula, Ngga'e eo ghale wena tana, dan hubungan itu ditandai secara ragawi  dengan hadirnya wulaleja di sudut kanan depan rumah hingga ke atap. Itu pula landasan filosofis sehingga banyak sa'o pu'u menjadi keramat,  magis, dan sakral, bhisagia. Sa'o pu'u adalah lambang dan sarana  pemersatu, lambang kekuatan rohani, kebanggaan jiwa kekerabatan, penanda keberadaan klen tertentu yang disebut Tuka kunu, Wewa, Kunu Woe, (mirip dengan wa'u, di Ngada, dan woe dalam rnasyarakat etnik Manggarai dengan mbaru gendang sebagai pusat orientasi mereka). Sebagai pemulih dan penyatu (kembali) keluarga besar, karena pemulihan   dan   perbaikan   (rehabilitasi),   pemugaran,   apalagi pembangunan kembali secara utuh sa'opu'u, justru disyaratkan melalui musyawarah internal garis pria dan sulung, untuk disepakati, dan kemudian ditetapkan bersama-sama oleh semua anggota kerabat. Kemudian, dalam pelaksanaannya pun sangat diprasyaratkan adanya  kebersamaan, kesatuan, dan kekompakan. Itulah secara singkat fungsi dan makna sosial-kultural sa'o pu'u, sa'oria tendabewa.Penting dan sentralnya kedudukan dan keberadaan sa'o pu'u, memang disadari oleh semua orang. Akan tetapi, betapa terancamnya keutuhan hidup suatu klen atau keluarga besar (kunu woe), jikalau secara ragawi dan nyata keluarga besar atau suatu klen itu tidak lagi memiliki sa'o pu'u karena rusak, tidak terurus, dan tidak terpelihara. Kerusakan atau kepunahan sa'o pu'u adalah pratanda kerusakan kekohesivan (desintegrasi), kesatuan, kebersamaan, relasi kekerabatan, baik dalam dimensi horizontal dengan aji-ana, faiwai walu ana kalo, maupun dimensi vertikal dengan leluhur dan Du'a Ngga'e. Gejala dan sumber konflik intrakekerabatan, bahkan juga dengan pihak luar, secara kultural bagi Orang Lio-Ende, senantiasa dikaitkan dengan keutuhan, keberadaan, dan fungsi sa'o pu'u, sa'oria tendabewa.

FILOSOFI RUMAH ADAT SA'O RIA
Berdasarkan struktur dan pola perkampungannya Sao Ria memiliki 3 kategori kampung yaitu : Kampung asal (nua pu’u), kampung ranting (kuwu ria) dan kampung kecil (kopo kasa). Kuwu Ria dan Kopo Kasa wajib mengakui wewenang religi, magis dan ritual dari penguasa adat di kampung
Rumah adat Sao Ria mempunyai filosofi khusus dimana rumah adat tersebut disimbolkan sebagai seorang manusia perempuan dan diartikan juga sebagai kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Makna ini di wujudkan melalui tata letak, fungsi dan bentuk ukuran komponen bangunan. Hal ini dapat dilihat dari letak Kanga yang berada diposisi yang lebih tinggi karena merupakan tempat yang disakralkan.
Fungsi Utama Bangunan
Fungsi utama Sao Ria terbagi menjadi 2 yaitu sebagai tempat hunian dan pemujaan, dimana di tempat hunian ini terdapat kamar-kamar untuk para penghuni.
Secara fungsional inti ruang tersebut memiliki fungsi ganda, yakni sebagai ruang yang bersifat tempat tinggal dan sekaligus bersifat sakral. Dikatakan bersifat tempat tinggal karena dalam kesehariannya pada ruangan ini digunakan untuk melaksanakan aktivitas penghuni rumah, seperti istirahat, makan bersama, menerima tamu, bekerja, bersantai dan lain sebagainya. Sedangkan disebut sakral karena pada ruangan ini juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (upacara adat) yang bersifat sakral. Di sekeliling ruang tengah ini terdapat ruang-ruang yang bersifat pribadi berupa ruang tidur dan sebagai ruang service (tempat penyimpanan perabot makan/dapur) dan lain sebagainya.
Kebutuhan umum pada ruangan rumah adat Sao Ria terdiri dari 2 kebutuhan, yaitu:
Ruang kegiatan penghuni itu sendiri.
Dimana pada ruangan-ruangan tersebut memiliki fungsi sosial
· Antara ketua adat dan keluarga (Makan, memasak, tidur).
· Antara ketua adat dan masyarakat setempat (Berkumpul/bermusyawarah).
Ruang Spiritual
Dimana ruang ini berfungsi sebagai ruang spiritual. Pada ruang ini diadakan upacara ritual pemujaan yang mengartikan bahwa kebutuhan ruang yang ada di Sao Ria bukan hanya untuk manusia itu sendiri melainkan sebagai tempat tinggal roh nenek moyang dan tempat bertemu manusia dengan sang penciptanya (wujud ilahi) yang merupakan sumber dan tujuan akhir serta penyelenggara kehidupan alam semesta.

Hubungan Antar Ruang

Secara horisontal pola hubungan antar ruang pada Sao Ria ini berintikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang bersama. Dimana ruang tengah ini menjadi inti Sao Ria, yang dijadikan sebagai tempat untuk berkumpul dan bermusyawarah yang dipimpin oleh ketua adat. Selain itu, ruang tengah ini juga menghubungkan semua ruangan yang ada di sekitarnya. Ruang tengah ini bukan hanya sekedar pemersatu anggota keluarga, melainkan juga pemersatu warga setempat.Sebelum memasuki Sao Ria terdapat Magha Loo ( tenda kecil ), setelah melewati Magha Loo terdapat Tangi Djawa (tangga naik ke rumah), lalu Magha Ria (bale-bale besar) di tengahnya terdapat Lata, yakni tangga masuk ke Pane Ria (pintu besar). Di samping Pane Ria terdapat Bendi (senapan) sebagai symbol pengaman Sao Ria. Dari Pane Ria memasuki Loro / lorong menuju One atau ruang tengah. Di samping kiri dan kanan terdapat dua kamar Magha Ria / kamar depan, yang berfungsi sebagai tempat tidur pemuda dan tamu laki-laki.Setelah Magha Ria terdapat Waja (tempat perapian). Di sudut kiri belakang terdapat Noki yaitu gudang kayu api. Ditengah-tengah Sao Ria terdapat One (ruang utama). Dibalik dinding kanan One terdapat kamar,dinamakan Rimba atau kamar untuk kamar gadis, kamar belakang dinamakan Magha Longgo yaitu kamar Ata Laki Puu dengan istri-istrinya. Disudut kanan belakang terdapat ruang suci yang dinamakan Wisu Lulu, tempat barang-barang pusaka antara lain batu-batu perjanjian antara nenek moyang dengan suku lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar